Selasa, 03 Mei 2011

osama adalah seorang gunners

 
Bukannya tanpa alasan apabila seorang Sheikh Usamah bin Muhammad bin
Ladin atau Osama bin Laden amat menyukai Arsenal. Bahkan, ada
kemungkinan ia akan membelinya. Sayangnya sejarah berbelok ke arah
lain setelah dia dinyatakan sebagai orang yan...g paling dicari di
dunia.

Banyak yang menduga-duga kenapa Bin Laden bisa sampai menyukai Les
Rouges of London. Ada yang berteori salah satunya soal kesamaan
prinsip. Siapa pun tahu, atau setidaknya baru ngeh mengingat logo
klub yang telah 13 kali jadi juara Inggris itu jelas: sebuah kanon
yang mengarah ke timur. Meriam, dalam arti konteks apa pun amat
jelas, sebagai alat pembunuh massal, ”The Gunner”.

Secara militeristik, Arsenal juga berarti gudang atau tempat
penimbunan senjata. Sebutan gampangnya, gudang peluru. Apakah Bin
Laden kepincut dengan jargon pada logo lama Arsenal: Victoria
Concordia Crescit, kemenangan berkembang dari harmoni?

FBI dan CIA sudah pasti memasukkan salah satu hobi pimpinan Al
Qaedah ini dengan soccer, bukan football, istilah orang Amerika
untuk sepak bola.

If you can work it out in London, you can work it out in the world.
Jadi, Bin Laden cukup pergi ke London untuk mengetahui isi dunia.
Pada awal tahun 1994, pria kelahiran Riyadh 10 Maret 1957 itu
menghabiskan waktu tiga bulan di London. Ada dua misi yang
dilakukan: pertama, sebagai bankir dan pengusaha kelas kakap, ia
banyak bertemu klien bisnisnya. Kedua, yang menarik, meski sibuk Bin
Laden tak melupakan agenda ”The Gunners” di Premiership dan Piala
Winner Eropa.

Menurut BBC, anak ke-17 dari 57 putra Sheikh Muhammad Bin Laden ini
sempat menonton kemenangan David Seaman, Anthony Adams, Paul Merson,
dan kawan-kawan di perempatfinal dan semifinal. Pada 15 Maret 1994,
lima hari usai merayakan ulang tahunnya yang 37, Bin Laden berada di
Highbury kala Arsenal mengalahkan Torino 1-0 lewat gol Tony Adams.

Tepat selang dua pekan, lelaki berdarah Yaman ini kembali berada di
Clock-End. Pada tahun 1994 itu, bayangkanlah, orang yang kini paling
dicari-cari oleh Amerika Serikat dan ditakuti dunia Barat berada di
Clock-End.

Bukan itu saja. Seorang penjaga The Gunner Shop, pusat penjualan
seluruh suvenir Arsenal yang bersebelahan dengan Highbury, mengaku
ingat betul ”pria Arab dengan aksen aristokrat dan berwajah
terhormat dengan syal ”The Gunners” di leher, membeli empat kaus
Arsenal untuk anak-anaknya.”

Gila Sepak bola
Anehnya, sewaktu Bin Laden sedang getol-getolnya menonton langsung,
tidak ada faktor paling signifikan yang mengharuskan ia menyenangi
Arsenal. Kostum? Strategi permainan? Atau sosok pelatihnya? Jika
ukurannya sebuah unsur fanatisme pun, jawabannya kurang kuat.

Dua bulan setelah tragedi 911, peristiwa peruntuhan World Trade
Center di New York pada 9 September 2001, seorang petinggi Arsenal
jadi salah tingkah. ”Ya, ya, kami juga sudah baca di koran- koran”,
katanya dengan gugup di hadapan para wartawan.”

Arsenal menjadi salah satu klub paling kontroversial di dunia soal
pendukungnya. Michael Moore, tokoh Hollywood yang gencar menyerang
kebijakan agresif pemerintahan George Bush ini, merupakan salah satu
fannya.

John Gotti, pimpinan terakhir klan mafia Bambino di New York, selalu
memastikan ada majalah Arsenal setiap bulan di mejanya. Juga Zhou
En-Lai, PM China tersohor. Ketika ia wafat pada tahun 1976 dalam
usia 78 tahun, suatu hari The Mirror membuat berita utama berjudul
”Arsenal lose a supporter”. Namun, tokoh paling sensasional kedua
yang menjadi fan ”The Gunners” setelah Bin Ladin, bisa jadi adalah
Fidel Castro.

Pada pernyataan terbukanya pada dunia, tepat dua bulan usai
pengeboman New York, dalam transkrip video berbahasa Arab, Bin Laden
bilang bahwa ilhamnya muncul dari sepak bola. ”Saya lihat dalam
mimpi, kami akan bertanding sepak bola dengan Amerika. Lalu saat
berada di lapangan, seluruh anggota tim kami berubah menjadi pilot.
Saya bertanya-tanya, ini sebuah pertandingan sepak bola atau
pertandingan pilot? Seluruh pemain kami pilot,” akunya.

Lalu U.S Department of Defense yang dikelola duet Donald Rumshfeld
dan asistennya, Paul Wolfowitz, sadar bahwa mimpi tersebut telah
diejahwantahkan pimpinan Al Qaedah itu. Bukankah pemusnahan dua
menara yang menjadi simbol ekonomi AS ini diawali oleh aksi pilot,
dikenal dengan nama Abu Al-Hasan, yang menabrakan pesawat jumbo
jet-nya?

Masih dalam transkrip itu, Bin Laden amat gembira melihat keruntuhan
WTC itu seperti menyaksikan gol dalam sepak bola. "Saya melihat
dalam tayangan TV bagaimana sebuah keluarga di Mesir bersorak-sorak
kegirangan melihat keruntuhan itu. Tahukah Anda perasaan dalam sepak
bola ketika tim kesayangan anda menang?" begitulah cara Bin Laden
membuat gol ke gawang Amerika.

Seperti halnya politik, dari sepak bola sering timbul nafsu kolektif
yang diperlihatkan para diktator, revolusioner atau oligarkis. Dunia
diajarkan bagaimana Joszef Stalin mampu mempertahankan kekuasaan
dengan menaruh kepala polisi rahasianya, Lavrenti Beria, sebagai
presiden klub Dynamo Moskva.

Usamah bin Laden atau Osama bin Laden menurut lidah Barat, adalah
pencinta Arsenal dengan status die-hard. Saksi mata yang sempat
mendengar diskusi Bin Laden dengan seseorang di Highbury,
mengatakan,” betapa dia mencintai Arsenal, tahu banyak dan siap
berkorban. Amat disayangkan ia keburu jadi buronan Amerika.” Ya,
mengapa ia tak mendamaikan dunia dengan sepak bola?

Bisa dibayangkan jika skenario besar terjadi sekarang ini di English
Premier League. Chelsea dipunyai Abramovich, seorang Yahudi dan
Arsenal dibeli Bin Laden, Arab. Perebutan kekuasaan di ibu kota
Inggris antara Arsenal dengan Chelsea kini membagi London menjadi
dua warna, merah dan biru.

Perseteruan inilah yang mengilhami seorang wartawan lulusan fakultas
psikologi Oxford, Chris Cleave, membuat novel super geger:
Incendiary. Cerita fiktif ini mengambil setting pada tahun 2008
tentang pengeboman The Emirates Stadium saat berlangsung partai
Arsenal vs Chelsea. Ketika Robin van Persie tengah bersiap
menceploskan bola ke gawang Petr Cech, tiba-tiba muncul ledakan di
tribun East Stand.

Bom bunuh diri yang dilakukan 11 orang rekrutan Al Qaedah menewaskan
1.000 orang, mayoritas suporter The Gunners. Ribuan lainnya cedera.
Beberapa pemain kedua tim juga tewas. Banjir darah di mana-mana.
Banyak pendukung Chelsea yang dibunuhi pendukung Arsenal. Di tengah
kekacauan tak terperi itu, segerombolan pendukung kedua klub
terlibat baku hantam gara-gara: memperebutkan sebuah kepala seorang
pemain top yang putus akibat ledakan!

Keruan saja Incendiary bikin heboh Inggris, terutama kubu Arsenal
dan Chelsea. Apalagi peluncurannya bertepatan dengan tragedi 7/7,
yakni pengeboman London 7 Juli 2005 lalu. Sontak, kantor penerbit
novel seharga 10,99 poundsterling itu pun didemo partisan ”The
Gunners”.

Cerita Incendiary memang diawali oleh kisah seorang wanita,
pendukung Arsenal yang setengah mati membenci Chelsea. Setelah suami
dan anaknya yang berusia empat tahun tewas akibat ledakan, ia
menulis surat kepada Osama bin Laden, ”Yang terhormat Osama. Saya
ingin menjadi seorang ibu terakhir di dunia yang pernah menulis
surat seperti ini, ibu yang telah kehilangan putranya….”

Misi novel ini membawa pesan langsung kepada Bin Laden agar
menghentikan aksinya. ”Yang saya tulis memang kisah teror, sebab apa
yang terjadi sebenarnya juga tentang cinta. Teror mengingatkan kita
pada kemanusiaan, pembangkangan kehidupan dan tuntutan mencintai
sesama dengan lebih intens. Saya masih ingat pernyataan Osama yang
tak mau menjatuhan bom bila melihat anak kecil,” ungkap Cleave.

Menurut The Economist, novel berbau teror massal ini lebih membumi
realitanya di Inggris ketimbang karya Nevil Shute, On the Beach dan
kisah sejenis yang terjual 55 juta eksemplar di seluruh dunia, End
of Days karangan Tim LaHaye..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar